Pengobatan hipertensi biasanya ditujukan untuk mencegah terjadinya morbiditas dan mortalitas akibat tekanan darah tinggi. Terapi farmakologi untuk hipertensi ringan dan sedang dilakukan secara monoterapi dengan salah satu dari obat berikut : diuretik, β-bloker, penghambat ACE, antagonis kalsium, dan α-bloker (termasuk α,β-bloker). Antihipertensi lainnya, yakni vasodilator langsung, adrenolitik sentral (α2 agonis) dan penghambat saraf adrenergik, tidak digunakan untuk monoterapi tahap pertama, tetapi hanya antihipertensi tambahan. Jika respon kurang atau parsial, akan dilakukan penambahan obat ke-2 dari golongan lain sedangkan jika respon kecil, dilakukan penggantian jenis obat.
Pilihan obat bagi masing-masing penderita (individualisasi individu) bergantung pada (1) efek samping metabolik dan subyektif yang ditimbulkan; (2) adanya penyakit lain yang mungkin diperbaiki atau diperburuk oleh AH yang dipilih; (3) adanya pemberian obat lain yang mungkin berinteraksi dengan AH yang diberikan dan (biaya pengobatan).
Berikut adalah jenis-jenis atau kelompok obat anti hipertensi :
A. Diuretik
Efek nyang ditimbulkan adalah peningkatan ekskresi natrium, klorida dan air sehingga mengurangi volume plasma dan cairan ekstrasel. Vasodilatasi perifer yang terjadi disebabkan adanya penyesuaian pembuluh darah perifer terhadap pengurangan volume plasma terus menerus. Selain itu, dapat pula terjadi pengurangan kekakuan dinding pembuluh darah dan bertambahnya daya lentur (compliance) vaskulor)
1) Diuretik Tiazid dan sejenisnya
Berbagai Tiazid (misal hidrokiorotiazid, bendroflumetiazid) dan anti diuretik (klortalidon dan indapamid)sejenis memiliki mekanisme kerja yang sama. Tiazid merupakan obat utama dalam terapi antihipertensi pada penderita dengan fungsi ginjal yang normal. Obat ini dapat digunakan sebagai obat tunggal pada hipertensi ringan-sedang atau dikombinasikan dengan AH lain pada penderita yang TD-nya tidak dapat dikendalikan diuretik saja. Tiazid dapat dikombinasikan karena dapat meningkatkan efek hipotensif obat lain yang mekanisme berbeda sehingga dosisnya dapat dikurangi. Selain itu, tiazid mencegah terjadinya retensi cairan oleh AH lainya sehingga efek hipotensif dapat dipertahankan.
Namun, penggunaan obat ini dapat menimbulkan efek samping metabolik, yakni hipokalemia, hipomagnesimia, hiponatremia, hiperisemia, hiperkalsemia, hiperglikemia, hiperkolestrolemia dan hipertrigliseridemia. Kecuali indapamid, tiazid akan kehilangan keefektifannya sebagai diuretik maupun antihipertensi pada gagal ginjal (kreatinin serum ≥ 2.5 mg/dl). Ditambah lagi, gangguan fungsi seksual dan rasa lemah juga dapat terjadi.
2) Diuretik kuat dan diuretik hemat kalium
Diuretik kuat, misalnya furosemid lebih efektif dibanding tiazid untuk hipertensi dengan gangguan fungsi ginjal dan gagal jantung. Mula kerjanya lebih cepat dan efek diuretiknya lebih kuat. Namun, untuk jenis hipertensi lain, tiazid lebih unggul. Diuretik kuat dicadangkan untuk penderita dengan kreatinin serum ≤ 2.5 mg/dl atau gagal jantung. Efek samping mirip seperti tiazid, hanya saja tidak menimbulkan hiperkalsemia. Diuretik kuat harus diberikan dalam dosis rendah disertai pengaturan diet.
Diuretik hemat kalsium merupakan diuretik lemah. Penggunaannya dengan diuretik lain berfungsi untuk mencegah hipokalemia. Namun, jenis ini dapat menyebabkan hiperkalemia, terutama pada penderita gangguan fungsi ginjal atau bila dikombinasikan dengan penghambat ACE, suplemen kalium atau AINS. Penderita dengan kreatinin serum ≥ 2.5 mg/dl tidak dianjurkan mengkonsumsi jenis ini.
B. Penghambat Adrenergik
1) Penghambat adrenoreseptor β (β-bloker)
Mekanisme β-adrenergik sebagai anti hipertensi masih belum jelas. Diperkirakan ada beberapa cara, yakni (1) pengurangan denyut jantung dan kontraktilitas miokard menyebabkan curah jantung berkurang. Reflek baroreseptor serta hambatan β2 vaskular menyebabkan resistensi perifer pada awalnya meningkat; (2) hambatan pelepasan NE melalui hambatan reseptor β2 prasinaps; (3) hambatan sekresi renin melalui hambatan rereptor β1 di ginjal; dan (4) efek sentral. Penurunan TD oleh β-bloker yang diberikan per oral berlangsung lambat. Efek tampak dalam 24 jam sampai 1 minggu. Pemberian pada orang normal tidak akan menyebabkan hipotensi.
Β-bloker merupakan obat untuk hipertensi ringan-sedang dengan PJK atau dengan aritmia supraventrikuler maupun ventrikuler dengan kelainan induksi, pada penderita muda dengan sirkulasi hiperdinamik dan pada penderita yang memerlukan anti depresi trisiklik atau antipsikotik (efek β-bloker tidak dihambat oleh obat-obatan tersebut). Semakin muda, β-bloker semakin efektif dan efek antihipertensi berlangsung lebih lama daripada bertahannya kadar plasma sehingga kadar plasma tidak dapat digunakan sebagai pedoman terapi.
Efektivitas berbagai β-bloker sebagai antihipertensi tidak berbeda satu sama lain bila diberikan dalam dosis ekuipoten. Ada tidaknya ISA, MSA, maupun kemampuan obat masuk ke otak tidak memberiakn perbedaan efektivitas, tetapi memberikan perbedaan dalam menentukan pilihan β-bloker yang paling tepat (dengan melihat efek pada penyakit penyerta dan efek samping).
Efek samping yang mungkin muncul diantaranya adalah bronkospasme, memperburuk gangguan pembuluh darah perifer, rasa lelah, insomnia, eksaserebrasi gagal jantung, dan menutupi gejala hipoglikemia; juga, hipertrigliseridemia dan menurunkan kadar kolestrol HDL (kecuali β-bloker dengan ISA dan labetalol); serta mengurangi kemampuan berolahraga. Efek samping dapat dikurangi dengan pengaturan diet. Selain itu, pengurangan aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus dapat memperburuk fungsi ginjal.Hipertensi rebound jarang terjadi pada penghentian β-bloker secara mendadak.
2) Penghambat adrenoreseptor α (α-bloker)
α-bloker yang selektif memblok adrenoreseptor α1 dapat untuk pengobatan antihipertensi. Alfa-bloker yang non-selektif juga menghambat adrenoseptor α-2 diujung saraf adrenergik sehingga meningkatkan pelepasan NE. Akibatnya, perangsangan jantung akan berlebihan.
Alfa-bloker menghambat reseptor α1 di pembuluh darah terhadap efek vasokonstriksi NE dan E sehingga terjadi dilatasi vena dan arteriol. Alfa-bloker merupakan satu-satunya golongan AH yang memerikan efek positif pada lipid darah, (mengurangi LDL dan trigliserida serta meningkatkan HDL). Alfa-bloker juga dapat menurunkan resistansi insulin, mengurangi gangguan vaskular perifer, memberikan sedikit efek bronkodilatasi dan mengurangi serangan asma akibat kegiatan fisik, merelaksasi otot polo prostat dan leher kandung kemih sehingga mengurangi gejala hipertrofi prostat, tidak menggangu aktivitas fisik dan tidak berinteraksi dengan AINS. Oleh karena itu, obat ini dianjurkan untuk penderita hipertensi disertai diabetes, dislipidemia, obesitas, gangguan resistensi perifer, asma, hipertrofi prostat, perokok, serta penderita muda yang aktif secara fisik dan mereka yang menggunakan AINS.
Efek samping yang mungkin muncul di antaranya adalah hipotensi ortostatik yang dapat terjadi sejak pemberian beberapa dosis pertama atau saat dilakukan penambahan dosis. Efek lebih besar ialah kehilangan kesadaran sesaat atau yang ringan ialah pusing kepala ringan. Fenomen ini dapat terjadi saat pemberian dosis pertama terlalu besar, penderita dengan deplesi cairan, penderita usia lanjut, atau yang sedang makan AH lain. Toleransi terhadap fenomen terjadi secara cepat dengan mekanisme yang belum diketahui. Namun, ada juga contoh obat yang jarang menimbulkan fenomen dosis pertama karena mula kerjanya yang lambat, seperti doxazosin.
3) Adrenolitik Sentral
Klonidin. Efek hipotensifnya disertai penurunan resistensi perifer. Curah jantung mula-mula menurun, tetapi kembali lagi ke nilai awal pada pemberian jangka panjang. Klonidin juga dapat menyebabkan penurunan denyut jantung, antara lain akibat peningkatan tonus vagal. Klonidin oral biasanya digunakan sebagai obat ke-2 atau ke-3 jika TD sasaran belum tercapai pada pemberian diuretik. Obat ini dapat juga untuk menggantikan penghambat adrenergik lain dalam kombinasi 3 obat dengan diuretik dan vasodilator pada hipertensi resisten. Klonidin berguna pula untuk hipertensi mendesak.
Efek samping yang sering muncul ialah mulut kering dan sedasi (pada 50% penderita), tetapi efek bisa hilang dalam 12 jam meski obat diteruskan. Efek lain ialah pusing, mual, konstipasi, atau impotensi. Gejala ortostatik kadang-kadang terjadi. Efek samping sentral misalnya, mimpi buruk, insomnia, cemas dan depresi. Penggunaan secara tunggal dapat menyebabkan retensi cairan sehingga mengurangi efek hipotensinya. Oleh karena itu, obat ini paling baik jika digunakan bersama diuretik.
Guanabenz dan Guanfasin. Sifat farmakologik termasuk efek sampingnya mirip klonidin. Guanfasin memiliki waktu paruh lebih panjang (14-18 jam), bandingkan dengan guanabenz yang maksimal dalam 2-4 jam pada pemberian oral.
Metildopa. Metildolpa dapat mengurangi resistensi perifer tanpa banyak mengubah denyut jantung dan curah jantung. Pada penderita usia lanjut, curah jantung dapat menurun akibat berkurangnya denyut jantung dan isi sekuncup. Penurunan TD maksimal 6-8 jam setelah dosis oral. TD lebih turun jika pasien berdiri dari pada berbaring. Hipotensi ortostatik dapat terjadi meski tidak seberat yang ditimbulkan penghambat saraf adrenergik. Penggunaan tunggal dapat menyebabkan retensi cairan sehingga kehilangan efek hipotensifnya (toleransi semu).
Metildopa ditambahkan sebagai obat ke-2 bila TD sasaran belum tercapai dengan diuretik saja. Obat ini juga efektif jika dikombinasikan dengan tiazid. Selain itu, obat ini juga merupakan pilihan untuk hipertensi pada kehamilan.
Dosis pada penderita gangguan fungsi hati dan ginjal harus dikurangi karena absorpsi metidolpa pada pencernaan kurang lengkap. Sekitar 63% diekskresikan tubuh. Pada insufisiensi ginjal terjadi akumulasi obat dan metabolitnya. Waktu paruh obat 2 jam dan meningkat pada penderita uremia.
Efek samping yang dapat muncul di antaranya adalah sedasi, hipotensi postural, pusing, mulut kering, gangguan tidur, depresi mental, impotensi, kecemasan, penglihatan kabur, hidung tersumbat dan sakit kepala. Efek samping yang lebih serius di antaranya adalah anemia hemolitik, trombositopenia, leukopenia, hepatitis, dan sindrom seperti lupus.
Efek hipotensif metildopa ditingkatkan oleh diuretik dan dikurangi antidepresi trisiklik dan amin simpatomimetik. Penghentian mendadak dapat menyebabkan fenomen rebound (peningkatan TD meningkat.
4) Penghambat saraf Adrenergik
Reserpin dan Alkaloid Rauwolfia. Reserpin mengurangi resistensi perifer denyut jantung dan denyut jantung. Retensi cairan dapat terjadi jika tidak diberikan bersama diuretik. Reserpin lebih sering digunakan sebagai obat ke-2 dan merupakan antihipertensi yang baik, terutama saat dikombinasikan dengan tiazid.
Efek samping yang dapat terjadi di antaranya adalah letargi dan kongesti nasal. Selain itu, ada pula gejala-gejala seperti bradikardia, mulut kering, diare, mual, muntah, anoreksia, bertambahnya nafsu makan, hiperasiditas lambung, mimpi buruk, depresi mental, disfungsi sexual, dan ginekomastia. Penderita dengan riwayat depresi dihindarkan dari penggunaan obat ini. Untuk mengurangi efek samping, penggunaan dosis yang rendah pada kombinasi dengan tiazid dirasakan cukup efektif.
Karena reserpin dapat meningkatkan asam lambung, maka harus diberikan dengan hati-hati pada penderita dengan riwayat ulkus peptikum. Selain itu, penderita dengan riwayat kolitis ulseratif juga tidak diperbolehkan karena reserpin dapat meningkatkan tonus dan motilitas ulseratif. Penderita epilepsi juga tidak dianjurkan karena reserpin dapat menurunkan ambang kejang.
Guanetidin. Efek hipotensif obat ini disebabkan karena berkurangnya curah jantung (akibat berkurangnya alir balik vena serta kontraktilitas dan denyut jantung) dan turunnya resistensi perifer. Guanetidin merupakan venodilator yang kuat sehingga hipotensi ortostatik yang hebat dan juga hipotensi akibat kegiatan fisik dapat terjadi. Obat ini juga sering menimbulkan diare dan kegagalan ejakulasi.
Guanetidin sekarang jarang digunakan karena (1) sukar mengatur dosisnya, (2) adanya AH yang lain, misalnya kaptropil dan minoksidil yang efektif untuk hipertensi resisten dan kurang menimbulkan efek samping dibanding guanetidin.
Guanadrel. Mekanisme dan efek samping mirip dengan Guanetidin, hanya saja intensitas diare lebih rendah.
5) Penghambat Ganglion
Trimetafan. Merupakan satu-satunya penghambat ganglion yang masih digunakan di klinik. Kerjanya singkat dan digunakan untuk (1) menurunkan TD dengan segera pada hipertensi darurat, terutama aneurisma aorta dissecting yang akut dan (2) menghasilkan hipotensi terkendali selama bedah saraf atau bedah kardiovaskular untuk mengurangi pendarahan.
Efek samping yang dapat muncul ialah paresis usus dan kandung kemih, hipotensi ortostatik, penglihatan kabur, dan mulut kering.
C. Vasodilator
Hidralazin. Hidralazin merelaksasi otot polos arteriol dengan mekanisme yang belum dapat dipastikan. Salah satu kemungkinan kerjanya adalah sama dengan kerja nitrat organik dan natrium nitropusid, dengan melepaskan nitrogen oksida (NO) yang mengaktifkan guanilat siklase dengan hasil akhir defosforilasi berbagai protein, termasuk protein kontraktil dalam sel otot polos. Vasodilatasi dapat menyebabkan peningkatan denyut dan kontaktilitas jantung, peningkatan renin plasma, dan retensi cairan yang justru melawan efek hipotensif obat. Hidralazin menurunkan TD diastolik lebih banyak daripada TD sistolik dengan menurunkan resistensi perifer. Oleh karena itu, hidralazin lebih selektif mendilatasi arteriol dari pada vena.
Hidralazin oral biasanya digunakan sebagai obat ke-3 kepada diuretik dan β-bloker. Retensi cairan akan dihambat oleh diuretik sedangkan refleks takikardia terhadap vasodilatasi akan dihambat oleh β-bloker. Karena tidak menimbulkan hipotensi ortostatik atau sedasi, hidralazin dapat ditambahkan sebagai obat ke-2 kepada diuretik untuk penderita usia lanjut yang tidak dapat mentoleransi efek samping penghambat adrenergik. Pada mereka, refleks baroreseptor kurang sehingga tidak terjadi takikardia dengan hidralazin tanpa β-bloker. Hidralazin sekarang jarang digunakan karena masih ada yang lebih aman. Hidralazin IV digunakan untuk hipertensi darurat, terutama glomerulonefritis akut atau eklamasia.
Absorpsi dari saluran cerna cepat dan hampir sempurna, tetapi mengalami metabolisme lintas pertama di hati yang besarnya ditentukan fenotip asetilasi penderita. Pada asetilasi lambat, didapatkan kadar plasma yang tinggi, insiden hipotensi berlebihan dan toksisitas lainnya juga tinggi sehingga perlu pengecilan dosis.
Efek samping yang dapat muncul ialah retensi natrium dan air bila tidak ada diuretik. Takikardia diatasi dengan β-bloker. Tanpa β-bloker dan diuretik dapat terjadi iskemia miokard pada penderita PJK. Hidralazin juga dapat menyebabkan sindrom Lupus.
Minoksidil. Minoksidil bekerja pada sel otot polos vaskular dengan meningkatkan permeabilitas membran sel terhadap K+ sehingga terjadi hiperpolarisasi. Dilatasi akan menurunkan resistensi perifer dan menurunkan TD sistolik dan diastolik. Efek hipotensif disertai denyut jantung dan curah jantung.
Minoksidil efektif untuk semua penderita , maka berguna untuk terapi jangka panjang hipertensi berat yang refrakter terhadap kombinasi 3 obat yang terdiri dari diuretik, penghambat adrenergik dan vasodilator lain. Minoksidil efektif untuk hipertensi akselerasi atau maligna dengan penyakit ginjal. Untuk mengatasi retensi cairan dan takikardia, pemberian minoksidil perlu dilengkapi diuretik dan penghambat adrenergik.
Efek samping yang sering muncul ialah retensi cairan, takikardia, sakit kepala, angina pectoris (pada penderita PJK). Selain itu, efusi pleural dan perikardial terjadi pada 3% penderita. Komplikasi terjadi pada penderita gangguan ginjal berat dan mungkin akibat retensi cairan. Biasanya efusi hilang saat minoksidil dihentikan. Penghentian minoksidil mendadak dapat menyebabkan hipertensi rebound. Minoksidil biasanya tidak menyebabkan hipotensi ortostatik, kecuali jika diberikan pada guanetidin. Selain itu adalah hipertrikosis.
Metabolismenya ekstensif terutama menjadi metabolit yang tidak aktif. Kadar plasma tidak berkorelasi dengan respon terapi.
Diazoksid. Bekerja pada sel otot polos arteriol, mengaktifkan kanal K+ yang sensitif ATP sehingga terjadi hiperpolarisasi menyebabkan dilatasi arteriol. Vena tidak dipengaruhi. TD turun dengan cepat dan denyut jantung beserta curah jantung meningkat.
Obat ini digunakan pada hipertensi darurat. Diazoksid efektif untuk hipertrofi ensefalopati, maligna dan berat dengan glomerunefritis akut dan kronik. Penurunan TD yang cepat dapat beresiko iskemia koroner.
Efek samping yang ada misalnya hipotensi, takikardia, iskemia jantung dan otak akibat hipotensi, azotemia, hipersensitifitas.
Natrium Nitroprusid. Gugus nitroso pada molekul natrium nitrosupid akan dilepaskan sewaktu kontak dengan eritrosit. NO mengaktifkan enzim guanilat siklase pada otot polos pembuluh darah dan menyebabkan dilatasi arteriol dan venula.
Nitroprusid merupakan obat paling cepat dan selalu efektif untuk pengobatan hipertensi darurat. Namun, perlu infus kontinyu untuk mempertahankan efek hipotensifnya.
Efek samping yang ada berupa vasodilatasi yang berlebihan, kemudian muntah, mual dan muscle twitching.Obat ini juga dapat memperburuk hipoksemia arteri pada penderita dengan PPOM karena mengganggu vasokonstriksi pembuluh darah paru sehingga ventilasi dan perfusi tidak seimbang.
D. Penghambat Enzim Angiotensin
Penghambat ACE bekerja langsung,yaitu kaptropil dan lisinopril dan ada pula yang tidak langsung (pro drug).
1) Sistem Renin-AngiotensinAldoster
Renin disekresi oleh sel jukstglomerular di dinding arteriol aferen dan glomerulus ke dalam darah bila perfusi ginjal menurun (karena TD turun atau stenosis pada arteri ginjal), bila terdapat deplesi natrium dan atau terjadi stimulasi adrenergik (melalui reseptor β1).
Renin akan memecah angiotensinogen menjadi angiotensin I (AI). AI akan dikonversi oleh ACE yang terikat pada endotel yang menghadap ke lumen di seluruh sistem vaskuler, menjadi Angiotensin II (AII) yang sangat aktif. AII bekerja pada reseptor otot polos vaskuler, korteks adrenal, jantung dan SSP untuk menimbulkan konstriksi arteriol dan venula (efek pada arteriol lebih kuat), stimulasi sintesis dan sekresi aldosteron, stimulasi jantung, dan sistem simpatis dan efek SSP berupa stimulasi konsumsi air dan peningkatan sekresi ADH. Akibatnya terjadi resistensi perifer, reabsorpsi natrium dan air serta peningkatan denyut jantung dan curah jantung.
ACE juga kininase II yang mengaktifkan bradikinin yang merupakan vasodilator arteriol sistemik yang poten, kerjanya melaui EDRF dan prostlagandin.
Sistem RAA berperan dalam mempertahankan TD dan volume intravaskular saat terdapat deplesi natrium dan cairan.
Penghambatan ACE akan mengurangi pembentukan AII sehingga TD turun. Karena efek vasokonstriksi paling kuat antara lain ada di pembuluh darah ginjal, pengurangan AII akan menimbulkan vasodilatasi renal yang kuat. Penurunan TD oleh penghambat ACE disertai pengurangan resistensi perifer, tanpa refleks takikardia. Kerja golongan obat ini sepertinya ada yang melalui sistem kinin. Hambatan inaktivasi bradikinin akan menyebabkan vasodilatasi.
Penghambat ACE efektif untuk hipertensi ringan, sedang , maupun berat. Pada hipertensi berat, penghambat ACE ditambahkan vasodilator obat ke-3 pada diuretik dan β-bloker. Penghambat ACE akan lebih efektif pada penderita muda. Pemberian bersama dengan penghambat adrenergik akan menimbulkan hipotensi berat berkepanjangan.
Efek samping yang mungkin muncul ialah,batuk kering, ganguan pengecapan, rash eritromatosisn maupun udem angioneurotik. Dosis pertama ACE dapat menimbulkan hipotensi simptomatik. Selain itu, ada pula gagal ginjal akut, proteinuria, dan hiperkalemia.
E. Antagonis Kalium
Ada beberapa karakteristik untuk obat jenis ini, yaitu :
1. Golongan dihidropiridin (DHP, nifedipin, nikardipin, isradipin, felodipin, amilodipin) bersifat vaskuloselektif dan generasi yang baru mempunyai selektivitas yang lebih tinggi. Sifat ini menguntungkan manusia, karena, tidak ada efek langsung pada nodus SA danAV, menurunkan resistani perifer tanpa disfungsi jantung berarti, dan relatif aman dalam kombinasi dengan β-bloker
2. Bioavailabilitas oral yang rendah dari kebanyakan antagonis kalsium disebabkan oleh eliminasi presistemik di hati yang tinggi. Dalam hal ini, bioavailabilitas oral
3. Kadar Puncak yang cepat dicapai kebanyakan antagonis kalsium menyebabkan TD turun secara cepat, mencetuskan iskemia miokard atau serebral
4. Metabolism yang hampir sempurna oleh hati dari semua antagonis kalsium menunjukan bahwa penggunaannya penderita pada sirosis hati dan usia lanjut harus hati hati.
Kombinasi antagonis kalsium dengan β-bloker, penghambat ACE atatu α-bloker meberikan efek baik, tetapi hanya memberikan penambahan efek yang kecil saat kombinasi dengan diuretik. Kombinasi verapamil atau diltiazem dengan β-bloker memberikan efek antihipertensi yang adiktif. Seperti penggunaan diuretik, pengurangan garam tidak berguna.
Efek samping yang mungkin dijumpai ialah penurunan TD yang terlalu besar dan cepat, angina pektoris pada PJK, efek vasodilatasi, edema perifer, bradiaritmia maupun konstipasi. Kalsium antagonis tidak memiliki efek samping metabolik, baik lipid, karbohidrat maupun asam urat.