1. Sifat Fisika Kimia Bahan Obat
Untuk dapat diabsorpsi, bahan obat harus berada dalam bentuk terlarut. Umumnya, kecepatan larut bahan aktif (misalnya dalam saluran cerna atau dalam tempat intramuskular) menentukan laju absorbsi. Ini ditentukan, selain oleh sifat-sifat senyawa (seperti misalnya bentuk kristal, besarnya partikel, solvatasi), ditentukan juga oleh sifat sediaan obat (antara lain bahan pembantu yang digunakan, bahan penyalut).
2. Nilai pH dalam darah yang mengabsorbsi.
Darah memiliki pH antara 7,35-7,45. Keseimbangan asam-basa darah dikendalikan secara seksama, karena perubahan pH yang sangat kecil pun dapat memberikan efek yang serius terhadap beberapa organ. Ekskresi ginjal memainkan peranan penting dalam mengakhiri aktivitas biologik sejumlah obat terutama obat-obat yang memiliki volume molekul kecil atau mempunyai sifat-sifat polar seperti gugusan fungsional yang terionisasi sempurna pada pH fisiologik. Kebanyakan obat tidak memiliki sifat-sifat fisikokimia demikian tersebut. Molekul-molekul organik yang aktif secara farmakologik cenderung bersifat lipofilik dan tetap tidak terionisasi atau hanya sedikit terionisasi pada pH fisiologik. Seringkali obat-obat itu terikat kuat pada protein plasma. Hal inilah yang nantinya akan menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi konsentrasi obat yang berada di tempat kerja.
3. Aliran darah organ yang mengabsorbsi
Apabila darah mencapai pembuluh darah, obat akan ditranspor lebih lanjut bersaman aliran darah dalam sistem sirkulasi. Akibat landaian konsentrasi darah terhadap jaringan, bahan obat mencoba meninggalkan pembuluh darah dan terdistribusi dalam organisme keseluruhan. Penetrasi dari pembuluh darah ke dalam jaringan dan demikian distribusinya, seperti halnya absorbsi, bergantung pada banyak peubah. Khususnya ukuran molekul, ikatan pada protein plasma dan protein jaringan, kelarutan dan sifat kimia. Selanjutnya bergantung pada pasokan darah dari organ dan jaringan masing-masing, ketebalan membran dan perbedaan pH antara plasma dan jaringan.
4. Rute pemberian dan tempat pemberian.
Setelah pemberian oral, suatu obat bisa diabsorbsi secara tidak lengkap, misalnya hanya 70% dari suatu dosis digoksin yang mencapai sirkulasi sistematik. Ini terutama disebabkan oleh kurangnya absorbsi melalui usus dan sebagian digoksin mengalami metabolisme oleh bakteri di usus. Pemberian obat secara parenteral (harfiah berarti ”di luar usus”) biasanya dipilih bila diinginkan efek yang cepat, kuat dan lengkap atau untuk obat yang merangsang atau dirusak getah lambung (hormon), atau tidak diresorpsi usus (streptomisin), begitu pula pada pasien yang tidak sadar atau tidak mau bekerja sama.
Rute | Ketersediaan Hayati | Sifat-Sifat |
Intravena | 100 (dengan ketentuan) | Kebanyakan dengan mula kerja cepat |
Intramuskular | < 100 | Volume yang besar sering mungkin ada; mungkin dengan rasa nyeri |
Subkutan | < 100 | Volume lebih kecil dibandingkan IM; mungkin dengan rasa nyeri |
Oral | <> | Kebanyakan sesuai; efek first-pass mungkin berarti |
Rektal | <> | Efek first-pass lebih kecil dibandingkan oral |
Inhalasi | <> | Mula kerja sering sangat cepat |
Transdermal | < 100 | Absorsbsi selalu sangat lambat; digunakan untuk tidak adanya efek first-pass, memperlama kerja |
5. Ukuran partikel dan permukaan jenis
Untuk memperoleh suatu bentuk yang fit (sesuai) dengan suatu jenis reseptor, tidak dapat diikat reseptor lain, molekul obat tersebut harus cukup unik dalam bentuk, muatan, dan sebagainya. Ikatan yang selektif ini diperoleh jika molekul berukuran sedikitnya BM 100 unit. Batas atas dalam BM ditetapkan berdasarkan kemudahan obat itu bergerak dalam tubuh (misalnya, dari tempat pemberian ke tempat bekerja). Obat-obat yang lebih besar dari BM 1000 tidak mudah berdifusi antara kompartemen tubuh mesti diberikan langsung ke dalam kompartemen tempat efek obat.
6. Sediaan obat
Perbedaan bentuk sediaan memberikan kecepatan melarut yang berbeda sehingga respon yang dihasilkan pun akan berbeda-beda pula. Untuk obat yang tahan getah lambung, kecepatan melarut dari berbagai bentuk sediaan menurun dengan urutan sbb:
Larutan – suspensi – serbuk – kapsul – tablet – tablet film coated – dragee (tablet salut gula) – tablet e.c – tablet kerja panjang (retard, sustained release, ZOC).
7. Dosis
Dosis standar suatu obat untuk satu penderita dengan penderita lainnya tidaklah sama, dan tentu akan menyebabkan adanya perubahan konsentrasi dalam tempat kerja. Beberapa proses patologi (misalnya kematangan fungsi organ pada bayi-bayi) mengharuskan penyesuaian dosis pada penderita-penderita yang khusus. Proses-proses ini mengubah parameter-parameter farmakokinetik. Dua parameter pokok adalah bersihan (clearance), yaitu ukuran kemampuan tubuh untuk menghilangkan obat; dan volume distribusi, ukuran dari ruangan dalam tubuh yang tersedia untuk diisi obat.
8. Waktu kontak dengan permukaan absorbsi
9. Besarnya luas permukaan yang mengabsorbsi
10. Integritas membran
Obat yang terlalu hidrofilik (misalnya atenolol) atau terlalu lipofilik (misalnya asiklovir) juga mempunyai ketersediaan hayati yang rendah karena absorbsi tidak lengkap. Jika terlalu hidrofobik, obat sukar menembus sel membran yang bersifat lipid, dan jika terlalu lipofilik obat tersebut kurang melarut menembus lapisan air di sekitar sel. Sifat lipofilik membran tubuli ginjal juga mempermudah reabsorbsi senyawa-senyawa hidrofobik setelah filtrasi glomeruli. Akibatnya, kebanyakan obat akan mempunyai efek yang sangat panjang apabila terminasi obat tergantung pada ekskresi ginjal saja.
11. Eliminasi First-Pass
Setelah absorbsi melalui dinding usus, darah portal akan membawa obat ke hati sebelum masuk ke dalam sirkulasi sistemik. Suatu obat dapat dimetabolisasi di dinding usus atau bahkan di dalam darah portal, tetapi umumnya hati adalah alat yang bertanggung jawab atas metabolisme obat sebelum obat mencapai sirkulasi sistemik. Sebagai tambahan, hati dapat mengeluarkan obat ke dalam empedu. Semua ini dapat mengurangi konsentrasi obat, dan semua proses tersebut dikenal sebagai eliminasi first-pass.
12. Perubahan dalam Konsentrasi Obat yang Mencapai Reseptor
Penderita bisa berbeda dalam kecepatan absorbsi obat, distribusi obat melalui kompartemen tubuh, atau pembersihan obat dari darah. Setiap perbedaan farmakokinetik ini bisa mengubah konsentrasi obat yang mencapai reseptor yang relevan dan dengan demikian juga mengubah respon klinis. Beberapa perbedaan bisa diramalkan berdasarkan jenis kelamin, umur, berat badan, jenis penyakit, atau fungsi hati dan ginjal penderita tersebut, ramalan-ramalan seperti itu harus dipakai sebagai panduan dalam menentukan regimen dosis permulaan.
13. Variasi dalam Konsentrasi Ligan Reseptor Endogen
Mekanisme ini besar pengaruhnya terutama dalam respon pada antagonis farmakologik. Dengan demikian, propanolol (antagonis β-adrenoseptor) akan menurunkan frekuensi jantung secara nyata pada penderita yang katekolamin endogennya meningkat (seperti pada feokromositoma) tetapi tidak akan berpengaruh terhadap frekuensi jantung seorang pelari marathon yang sedang beristirahat.
14. Perubahan dalam Jumlah atau Fungsi Reseptor
Penelitian dalam percobaan telah menunjukkan adanya perubahan dalam respon obat yang disebabkan oleh bertambahnya atau berkurangnya jumlah reseptor, atau perubahan di dalam efisiensi mekanisme perangkai reseptor-efektor. Perubahan tersebut sangat mungkin menjelaskan banyak variasi individu dalam respon obat, khususnya obat-obat yang bekerja pada reseptor untuk hormon-hormon, amina biogenik, dan neurotransmitter.
15. Faktor-Faktor Lainnya
- Faktor Genetik
Faktor-faktor genetik yang mempengaruhi kadar enzim pada perbedaan-perbedaan ini. Sebagai contoh, suksinilkolin, hanya dimetabolisme dengan kecepatan separuh pada orang-orang dengan kelainan fungsi pseudokolinesterasenya normal.
- Faktor Lingkungan
Faktor-faktor lingkungan juga berperan terhadap variasi individual dalam metabolisme obat. Misalnya, perokok sigaret memetabolisasi beberapa jenis obat secara lebih cepat dibandingkan dengan bukan perokok sebab adanya induksi enzim.
- Umur & Jenis Kelamin
Kepekaan yang meningkat terhadap aktivitas farmakologik dan toksisitas obat-obat telah dilaporkan pada penderita yang sangat muda dan yang tua sekali dibandingkan dengan penderita yang dewasa muda. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan dalam absorbsi obat, distribusi, metabolisme, dan ekskresi obat.
- Interaksi Obat dengan Obat Selama Metabolisme
Adanya interaksi antara obat yang satu dengan lainnya juga dapat mengubah konsentrasi obat ditempat kerja. Misalnya antara aspirin dan prednison, dimana aspirin dapat meningkatkan metabolisme dari prednison, sehingga efek dari prednison menjadi berkurang.
- Interaksi antara Obat-Obat & Senyawa-Senyawa Endogen
Obat-obat yang berbeda bisa bersaingan untuk suatu substrat endogen yang sama, dan obat yang bereaksi cepat bisa secara efektif mengosongkan kadar substrat endogen dan menganggu metabolisme obat yang bereaksi lambat. Jika obat belakangan tersebut memiliki suatu kurva dosis respon yang curam atau suatu batas keamanan yang sangat sempit, maka bisa terjadi potensiasi efek farmakologik dan menyebabkan efek toksik.
- Penyakit Penderita